
Pengantar
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merupakan barometer utama pasar modal Indonesia. Ketika IHSG anjlok, situasi ini menjadi sorotan karena mencerminkan tekanan signifikan di pasar saham. Baru-baru ini, IHSG sempat merosot tajam hingga lebih dari 6% dalam sehari dan memicu trading halt di Bursa Efek Indonesia
Kondisi ini menjadikan IHSG salah satu indeks dengan kinerja terburuk di Asia, sementara bursa regional lain justru stabil atau menguat pada saat yang sama
Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan: apa saja faktor-faktor yang menyebabkan IHSG anjlok, dan bagaimana dampaknya bagi pelaku pasar serta perekonomian? Berikut analisis mendalamnya.
Baca juga : BEI Buat Rancangan Aturan Baru IPO di Indonesia
Faktor-Faktor Penyebab Anjloknya IHSG
IHSG dapat mengalami penurunan signifikan karena berbagai faktor yang saling berkaitan. Secara umum, empat faktor utama yang sering menjadi penyebab IHSG anjlok adalah kondisi ekonomi domestik, faktor ekonomi global, kebijakan moneter, dan sentimen pasar. Berikut penjelasannya:
1. Faktor Ekonomi Domestik
Kondisi fundamental ekonomi dalam negeri yang melemah akan berimbas langsung pada pergerakan IHSG. Misalnya, kesehatan fiskal Indonesia belakangan ini menjadi sorotan. Data menunjukkan pada Februari 2025 APBN mengalami defisit Rp31,2 triliun (sekitar 0,13% PDB), berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun 2024 di mana APBN sempat surplus
Defisit ini dipicu oleh penurunan penerimaan negara, terutama penerimaan pajak yang merosot drastis. Pada Februari 2025, penerimaan pajak hanya mencapai Rp187,8 triliun (8,6% dari target APBN), jauh turun dari Rp400,36 triliun (14,29% target) di Februari 2024
Kondisi fiskal yang memburuk membuat investor khawatir pemerintah akan terus menerbitkan utang (Surat Berharga Negara) secara agresif untuk menutup kekurangan anggaran
Kekhawatiran ini beralasan karena penerbitan SBN yang berlebihan dapat meningkatkan beban utang negara, melemahkan nilai tukar rupiah, dan menurunkan daya tarik investasi di pasar saham domestik.
Selain itu, laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri turut memengaruhi IHSG. Inflasi yang tinggi akan menekan daya beli masyarakat dan laba perusahaan, sehingga harga saham bisa turun. Begitu pula bila pertumbuhan ekonomi melambat, investor akan menilai prospek profit emiten memburuk dan mulai melepas saham. Faktor politik dalam negeri seperti ketidakpastian menjelang pemilu atau isu pergantian pejabat penting juga bisa mengguncang pasar. Rumor atau isu politik – misalnya isu pengunduran diri Menteri Keuangan – sempat disebut sebagai sentimen negatif yang menggoyang kepercayaan investor, meskipun akhirnya diklarifikasi
Intinya, fundamental ekonomi domestik yang tidak stabil (baik dari sisi fiskal, makroekonomi, maupun politik) dapat menjadi pemicu anjloknya IHSG.
2. Faktor Ekonomi Global
Pasar saham Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perkembangan global. Gejolak ekonomi dunia atau peristiwa global besar kerap kali menimbulkan efek domino ke IHSG. Contohnya, konflik geopolitik seperti perang (misalnya konflik Rusia–Ukraina) memicu sentimen risk-off di pasar finansial global, sehingga investor cenderung menarik dana dari aset berisiko di negara berkembang
Demikian pula perang dagang atau kebijakan proteksionis negara maju dapat menciptakan ketidakpastian perdagangan global yang berdampak negatif pada negara seperti Indonesia yang perekonomiannya terbuka. Pada tahun-tahun sebelumnya, kebijakan tarif Amerika Serikat di era Presiden Donald Trump pernah mengguncang pasar saham global, IHSG pun tertekan karenanya
Selain itu, kondisi perekonomian global secara umum turut mempengaruhi IHSG. Kekhawatiran akan resesi global atau perlambatan pertumbuhan di negara-negara besar (AS, Tiongkok, Eropa) dapat membuat investor lebih berhati-hati. Misalnya, ketika perekonomian Amerika Serikat menunjukkan tanda-tanda melemah atau terjadi krisis di sektor perbankan global, pelaku pasar cenderung mengurangi eksposur di pasar saham emerging market. Sebaliknya, jika mitra dagang utama Indonesia seperti Tiongkok mengalami perlambatan, harga komoditas ekspor andalan (batubara, CPO, mineral) dapat turun sehingga menekan saham-saham sektor terkait dan menyeret IHSG turun.
3. Kebijakan Moneter (Suku Bunga dan Nilai Tukar)
Kebijakan moneter, baik di dalam maupun luar negeri, memainkan peran besar dalam pergerakan IHSG. Kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat (Federal Reserve) selama periode pengetatan moneter belakangan ini membuat imbal hasil aset keuangan di negara maju meningkat. Hal ini mendorong sebagian investor global mengalihkan investasinya dari pasar saham Indonesia ke aset yang dianggap lebih aman seperti obligasi AS yang menawarkan return lebih tinggi
Arus keluar modal asing tersebut tercermin dari nilai net sell asing yang besar di BEI. Hingga 18 Maret 2025, investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (capital outflow) sekitar Rp29,4 triliun sejak awal tahun
Tekanan jual asing sebesar ini memberikan tekanan hebat pada IHSG, karena foreign fund withdrawal berarti permintaan saham berkurang dan harga terkoreksi.
Di sisi domestik, Bank Indonesia (BI) juga menaikkan suku bunga acuannya sepanjang 2022-2023 untuk meredam inflasi global. Dampaknya, biaya kredit meningkat dan konsumsi melambat, sehingga prospek pendapatan korporasi menurun. Suku bunga BI yang tinggi juga membuat investor lokal tertarik pada deposito atau obligasi dalam negeri, mengurangi gairah investasi di saham. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah turut menjadi faktor yang membuat IHSG tertekan. Rupiah yang terdepresiasi (contoh ekstrimnya hingga menembus Rp16.000 per USD di tengah kepanikan pasar) menurunkan kepercayaan investor asing.
Mata uang lemah berarti investasi di Indonesia berisiko tergerus kurs, sehingga mereka memilih keluar. Lebih jauh, pelemahan rupiah meningkatkan biaya impor bagi perusahaan dan bisa memukul laba emiten importir, sehingga harga sahamnya turun. Stabilitas nilai tukar dan suku bunga yang kondusif sangat penting untuk mendukung iklim pasar saham yang sehat.
4. Sentimen Pasar dan Perilaku Investor
Faktor terakhir namun tak kalah penting adalah sentimen pasar dan psikologi investor. Seringkali IHSG anjlok dipercepat oleh reaksi berantai dari kepanikan pelaku pasar. Ketika muncul banyak berita negatif atau ketidakpastian, kepercayaan investor menurun dan banyak yang buru-buru menjual saham secara serentak. Aksi jual panik (panic selling) ini dapat membuat IHSG turun lebih dalam daripada yang seharusnya secara fundamental
Contohnya, saat investor asing menarik dana dalam jumlah besar, investor domestik yang khawatir ikut-ikutan melepas saham karena takut kerugian semakin besar, padahal kondisi fundamental beberapa saham mungkin masih baik. Perilaku herding (ikut-ikutan) ini memperparah penurunan indeks.
Selain itu, siklus emosi investor juga berpengaruh. Dalam masa euforia sebelumnya, IHSG mungkin naik tinggi melampaui level wajar, sehingga ketika ada koreksi, penurunannya tampak dramatis. Kepanikan bisa diperburuk oleh informasi yang beredar cepat (termasuk rumor di media sosial atau forum) yang kadang tidak akurat. Contohnya, kabar isu ekonomi buruk atau rumor politik dapat menyebar cepat dan memicu reaksi emosional sebelum ada klarifikasi resmi. Volume perdagangan yang menurun juga bisa menjadi indikator sentimen negatif; ketika volume rendah, sedikit aksi jual pun bisa menggoyang harga karena minimnya pembeli penahan. Jadi, sentimen negatif dan perilaku investor yang emosional berperan besar dalam mempercepat laju anjloknya IHSG.
Baca juga : Mutasi Polri Maret 2025: 10 Kapolda, 10 Polwan Kapolres
Dampak Anjloknya IHSG terhadap Investor
Penurunan IHSG secara tajam membawa dampak berbeda bagi investor ritel dan institusi, meskipun keduanya sama-sama menghadapi tantangan penurunan nilai portofolio.
Dampak pada Investor Ritel
Investor ritel (individu) biasanya paling merasakan tekanan psikologis ketika IHSG anjlok. Nilai investasi saham mereka turun signifikan dalam waktu singkat, yang bisa mengikis kepercayaan diri. Banyak investor ritel pemula cenderung panik dan menjual saham di harga rendah karena takut kerugian lebih dalam, sehingga justru merealisasikan kerugian tersebut. Mereka yang berinvestasi menggunakan margin (utang) bisa terkena margin call saat harga saham anjlok, memaksa mereka menambah jaminan atau menjual paksa asetnya dengan rugi. Dampaknya, sejumlah ritel keluar dari pasar atau memilih menahan diri untuk tidak bertransaksi hingga kondisi stabil.
Di sisi lain, bagi ritel yang lebih berpengalaman, kejatuhan IHSG bisa dilihat sebagai peluang membeli di harga diskon. Sebagian investor ritel yang memiliki dana cadangan memanfaatkan penurunan ini untuk akumulasi saham-saham berfundamental baik yang harganya terdiskon. Namun, langkah ini biasanya dilakukan oleh minoritas yang memiliki pengetahuan dan nyali lebih. Secara umum, efek negatif yang dirasakan investor ritel meliputi penurunan kekayaan (wealth effect), menurunnya kepercayaan untuk berinvestasi, dan pergeseran preferensi ke aset yang dianggap aman seperti deposito atau emas. Hal ini sejalan dengan fenomena peralihan investasi ke aset safe haven di tengah gejolak pasar
Jika kepercayaan ritel pulih, mereka akan kembali masuk pasar, tetapi pengalaman pahit saat IHSG jatuh seringkali membuat ritel lebih berhati-hati di kemudian hari.
Dampak pada Investor Institusional
Investor institusional seperti manajer investasi, dana pensiun, perusahaan asuransi, atau investor asing, memiliki strategi berbeda dalam menghadapi IHSG anjlok. Investor institusi cenderung memiliki diversifikasi portofolio dan manajemen risiko yang lebih terukur. Ketika IHSG turun, institusi besar mungkin melakukan rebalancing aset – misalnya mengalihkan sebagian dana ke obligasi pemerintah atau aset luar negeri yang lebih stabil – untuk membatasi penurunan nilai portofolio. Bagi investor asing, anjloknya IHSG disertai pelemahan rupiah menjadi sinyal untuk keluar sementara dari pasar Indonesia; ini terlihat dari besarnya arus dana asing keluar seperti disebut sebelumnya (net sell asing puluhan triliun rupiah YTD).
Bagi mereka, menjaga modal lebih penting daripada menunggu pasar membaik, apalagi jika kondisi Indonesia dianggap berisiko dalam jangka pendek.
Sementara itu, investor institusi domestik (misal reksa dana lokal atau dana pensiun) mungkin mengalami tekanan karena nilai aset kelolaan (AUM) turun seiring koreksi pasar. Mereka bisa menghadapi penebusan (redemption) dari nasabah yang panik, sehingga terpaksa menjual saham lagi dan memperburuk penurunan harga. Meski demikian, institusi domestik terkadang berperan sebagai stabilizer; contohnya, Lembaga seperti BP Jamsostek atau dana pemerintah bisa masuk membeli saham-saham fundamental bagus ketika harganya terdiskon untuk menopang pasar, seperti yang pernah dilakukan pada krisis sebelumnya. Investor institusi umumnya memiliki perspektif jangka panjang, sehingga beberapa di antaranya justru memanfaatkan kejatuhan pasar untuk akumulasi strategis pada level rendah, dengan keyakinan bahwa ekonomi akan pulih. Bagi institusi, disiplin pada strategi investasi dan asset allocation yang ditetapkan menjadi kunci agar tidak terombang-ambing oleh fluktuasi jangka pendek.
Dampak bagi Perusahaan dan Penyesuaian Strategi Bisnis
Anjloknya IHSG tak hanya memukul investor, tetapi juga berdampak pada perusahaan-perusahaan yang tercatat di bursa (emiten) maupun dunia usaha secara umum. Pertama, penurunan harga saham berarti turunnya nilai kapitalisasi pasar perusahaan. Dalam sehari, ratusan triliun rupiah nilai pasar bisa sirna. Sebagai gambaran, dalam sepekan di pertengahan Maret 2025, kapitalisasi pasar BEI susut sekitar Rp215 triliun dan ketika IHSG anjlok ~6% pada 18 Maret, kapitalisasi pasar turun mendekati Rp10.500 triliun (dari ~Rp11.000 triliun sebelumnya). Penurunan valuasi ini berpengaruh pada kepercayaan pemegang saham dan calon investor terhadap perusahaan. Manajemen perusahaan bisa mendapat tekanan dari pemegang saham untuk meningkatkan kinerja atau mengambil langkah menstabilkan harga saham, misalnya dengan buyback saham jika keuangannya memungkinkan.
Kedua, perusahaan akan menghadapi kesulitan pendanaan ketika pasar saham lesu. Jika sebelumnya ada rencana rights issue atau penerbitan saham baru untuk ekspansi, anjloknya harga saham membuat aksi korporasi tersebut menjadi kurang menarik atau terpaksa ditunda karena valuasi rendah. Perusahaan yang hendak IPO pun mungkin menunda jadwal jika sentimen pasar buruk. Selain itu, perusahaan yang ingin menerbitkan obligasi akan menghadapi biaya dana lebih tinggi karena investor meminta kupon lebih besar di tengah sentimen risk-off.
Ketiga, dari sisi operasional, perusahaan akan melakukan penyesuaian strategi bisnis untuk bertahan. Banyak perusahaan mengambil langkah efisiensi: menunda ekspansi, menekan biaya operasional, dan memfokuskan bisnis ke segmen yang lebih tahan banting. Misalnya, perusahaan ritel akan mengatur ulang stok dan belanja modal karena daya beli konsumen berkurang saat ekonomi lesu. Perusahaan berbasis komoditas mungkin memperkuat hedging dan efisiensi produksi menghadapi volatilitas harga. Diversifikasi sumber pendapatan juga menjadi strategi, agar tidak terlalu bergantung pada satu pasar atau komoditas yang rentan goncangan.
Keempat, manajemen risiko perusahaan ditingkatkan. Perusahaan akan lebih aktif memantau risiko keuangan, terutama jika memiliki utang dalam valuta asing – pelemahan rupiah bisa memperberat beban utang. Mereka mungkin mengamankan kredit modal kerja sebelum bunga naik lebih lanjut, atau melakukan renegosiasi dengan kreditur. Perusahaan BUMN strategis mungkin mendapat dukungan pemerintah untuk menjaga stabilitas (seperti penugasan buyback saham oleh pihak terkait guna menahan laju kejatuhan). Intinya, dunia usaha perlu beradaptasi secara cepat: survival mode berlaku hingga kondisi pasar membaik. Perusahaan yang mampu berinovasi dan efisien di masa sulit akan lebih siap memanfaatkan pemulihan ketika IHSG dan ekonomi kembali bangkit.
Prediksi dan Prospek Masa Depan Ekonomi Indonesia
Melihat tren makroekonomi saat ini dan respons kebijakan, bagaimana prospek ekonomi Indonesia ke depan? Sejumlah lembaga internasional masih optimistis bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh moderat dalam beberapa tahun ke depan, meskipun di bawah ekspektasi semula. International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia misalnya, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,1% pada tahun 2025, sedikit direvisi turun dari perkiraan awal pemerintah sekitar 5,2%
Proyeksi ini sejalan dengan tren perlambatan ringan konsumsi rumah tangga. Bank Indonesia mengakui konsumsi terutama di kalangan menengah-bawah sedang lemah akibat terpaan inflasi dan daya beli yang tergerus
Namun demikian, pertumbuhan ~5% tersebut masih tergolong solid dan di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan hanya sekitar 2,7–3,3%
Dari sisi kebijakan pemerintah, langkah-langkah untuk memulihkan kepercayaan pasar dan menjaga stabilitas ekonomi terus diupayakan. Pemerintah berkomitmen menjaga defisit APBN 2025 sesuai target (sekitar 2,5% PDB) dengan mengendalikan belanja dan meningkatkan penerimaan
Upaya reformasi struktural juga dilanjutkan untuk mendorong investasi, seperti kemudahan berusaha melalui Omnibus Law dan pembangunan infrastruktur (termasuk proyek Ibu Kota Negara baru) yang diharapkan memiliki efek multiplier. Stabilitas sektor keuangan menjadi perhatian khusus: OJK dan BI memperkuat pengawasan untuk memastikan perbankan tetap sehat dan likuiditas terjaga meski pasar modal bergejolak. BI sendiri, jika inflasi terkendali di rentang target, berpeluang menurunkan suku bunga secara bertahap dalam 1-2 tahun ke depan. Pelonggaran moneter ini akan menjadi katalis positif bagi IHSG karena menurunkan biaya modal dan mendorong investasi lagi.
Secara eksternal, ada faktor yang dapat menjadi pendorong maupun penahan laju ekonomi Indonesia. Harga komoditas global diperkirakan tetap fluktuatif; jika Tiongkok dan negara maju berhasil menjaga momentum pertumbuhan, permintaan komoditas Indonesia (seperti batubara, nikel, CPO) bisa meningkat dan menopang ekspor serta penerimaan negara. Namun, jika ekonomi global melemah lebih dalam atau muncul krisis baru (misal krisis geopolitik melebar atau gejolak sektor keuangan global), maka Indonesia akan terkena imbas melalui jalur perdagangan dan keuangan. Nilai tukar rupiah juga perlu dicermati: perbaikan sentimen global dan masuknya modal asing kembali bisa membuat rupiah menguat, tetapi jika risiko global meningkat, rupiah bisa tertekan lagi.
Melihat keseimbangan faktor-faktor di atas, masa depan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah cenderung optimis-hati-hati. Optimis karena fondasi ekonomi Indonesia cukup kuat: utang pemerintah terkendali, demografi muda mendukung konsumsi, dan cadangan devisa memadai sebagai penyangga. Bahkan IMF menempatkan Indonesia dalam 10 besar ekonomi dunia secara paritas daya beli, menandakan potensi jangka panjang yang besar. Namun, kehati-hatian tetap diperlukan karena berbagai tantangan eksternal (perlambatan global, perubahan kebijakan negara maju) dan domestik (reformasi struktural yang harus konsisten, serta menjaga kepercayaan investor).
Bagi investor, tren makroekonomi ini berarti volatilitas IHSG mungkin berlanjut dalam jangka pendek, tetapi fundamental ekonomi yang terjaga membuka peluang pemulihan pasar saham. Sejarah menunjukkan setelah periode IHSG anjlok, fase rebound biasanya mengikuti seiring perbaikan sentimen dan indikator ekonomi. Dengan kombinasi kebijakan pemerintah dan moneter yang tepat, serta adaptasi pelaku usaha, ekonomi Indonesia diproyeksikan tetap tumbuh positif dan IHSG berpeluang bangkit kembali seiring pulihnya kepercayaan investor. Terpenting, kesabaran dan strategi investasi jangka panjang menjadi kunci bagi investor untuk melalui periode turbulensi ini dan meraih manfaat saat kondisi ekonomi berangsur membaik.